Jumat, 23 Desember 2011

Menangkal "Coronavirus" penyebar SARS


SABTU malam, 12 Oktober tahun 2002, pada waktu bom Bali meletus, Tan-Hoong Chu Eng sedang beristirahat di Malaysia. "Selepas tengah malam saya masih belum tidur, mendadak muncul breaking news di saluran CNN. Serangan teroris menimpa Bali, korban tidak terhitung jumlahnya." Seketika itu juga nalurinya sebagai eks perawat muncul. Situasi darurat, korban banyak, perlu tindakan medis segera, membutuhkan bantuan dokter dan paramedis.
Dini hari itu juga dia langsung menghubungi Suwandi Leo, stafnya di Singapura, untuk memberlakukan kondisi siaga. Sepanjang hari Minggu persiapan dilakukan, Senin pagi empat dokter berikut seorang paramedis, tim sukarelawan Parkway Group Healthcare (PGH) Singapura, sudah bisa tiba di lokasi.
"Operasi pertama dilakukan Selasa pagi. Ketika melihat begitu banyak korban luka bakar, dua hari kemudian kami kirim tambahan tiga dokter spesialis sambil membawa peralatan khusus untuk menangani luka jenis itu," kata dr Nani Permadhi mengungkapkan pengalamannya.
Tan-Hoong Chu Eng, warga negara Malaysia dan penduduk tetap Singapura tersebut, adalah Manajer Umum PGH, pengelola tiga rumah sakit swasta prestisius di Singapura, Mount Elizabeth, Gleneagles, dan East Shore. Dengan posisi semacam ini, ibu dua anak serta mantan perawat yang kini meraih gelar MBA dari University of Hull Inggris tersebut bisa memobilisasi tim dokter dan secepatnya mengirim ke lokasi bencana. "Begitu situasi darurat muncul, tim kesehatan harus segera mengambil peran, memberikan pengobatan, dan memulihkan kepercayaan masyarakat sehingga mereka yakin tidak sendirian dan tidak dilupakan.…"
Menghadirkan Clarus R2
Situasi darurat serupa terjadi di Singapura ketika wabah SARS diketahui melanda pada akhir April lalu. Apalagi penderita pertama seorang dokter, yang tertular ketika melawat ke luar negeri sehingga tak salah kalau muncul kecurigaan, semua rumah sakit dan petugas kesehatan merupakan lini paling rawan sebagai penyebar virus.
Untuk menangkal isu tersebut, langkah pertama yang dia lakukan adalah memastikan bahwa ketiga rumah sakit yang dikelolanya bebas dari SARS. "Semua staf rumah sakit dan juga pengunjung langsung harus menjalani pemeriksaan suhu badan."
Begitu prosedur ini diterapkan, muncul kesulitan sebab setiap hari rumah sakit tersebut dikunjungi sekitar 10.000 orang. "Kalau setiap pemeriksaan memerlukan waktu satu menit saja, berapa panjang antrean akan terjadi?"
Demi mempercepat proses pemeriksaan, sejak awal Mei dipasang thermal-imaging scanner, pelacak suhu tubuh otomatis. Dengan demikian, semua pengunjung bisa otomatis tercatat suhunya ketika mereka masuk rumah sakit dan setelah selesai mengisi formulir kesehatan.
Selain memasang pelacak suhu di pintu masuk, dan pintu tersebut satu-satunya yang dibuka, dia juga mendatangkan RBDS (room bio-deactivation service). Peralatan canggih dengan nama dagang Clarus R2 tersebut mampu mematikan kuman yang terdapat dalam ruangan. Alat ini mengembuskan uap hidrogen peroksida yang akan mengisolasi serta membunuh virus Corona, kuman penyebab wabah SARS.
Teknologi baru pembasmi kuman tersebut dikembangkan selama lima tahun oleh perusahaan farmasi Bioquell di Inggris dan baru dikenalkan ke publik mulai April lalu. "Harganya 500.000 dollar dan kami merupakan pemakai satu-satunya di Asia, sesudah Inggris dan Jerman. Ini semua kami lakukan untuk lebih meyakinkan masyarakat bahwa seluruh rumah sakit kami bebas dari SARS," kata Dr Lim Cheok Peng, Direktur PGH.
Kompensasi
Perang melawan penyebaran virus Corona memang sedang ditangani serius oleh Pemerintah Singapura. Selama dua bulan terakhir negara pulau tersebut mencatat 205 kasus SARS dengan jumlah korban tewas 28 orang. Sebagai langkah darurat, pemerintah kemudian membentuk gugus tugas pengendalian wabah di bawah pimpinan Dr Balaji Sadasivan. Seorang dokter brilian yang pernah berkarya di PGH, tetapi kemudian lebih memilih bidang politik dan jadi birokrat.
Serangan SARS di Singapura menyebabkan kedatangan turis merosot sampai 56 persen. Tetapi serangan tersebut juga mirip pisau bermata dua. Pada satu sisi, proses penanganan kesehatan berubah total sesudah Kementerian Kesehatan setempat hanya mengizinkan para dokter berpraktik di satu lokasi. Di sisi lain, masyarakat kemudian sadar terhadap kebersihan dan kesehatan, tercermin dalam pembagian termometer kepada semua murid.
Dengan alat sederhana yang ditempelkan di jidatnya, setiap anak sejak sekolah dasar sudah mampu untuk mengukur sendiri suhu tubuh masing-masing, dua kali sehari, pagi sore. "Kalau mulai tampak di atas 37,5 derajat Celsius, gurunya akan langsung harus mengirimkan ke rumah sakit, dicermati, dan jika perlu, murid tersebut harus menjalani isolasi," kata Marina Youssouff, seorang guru di Bedok. Boleh libur mendadak di rumah untuk seorang murid mungkin malah membikin mereka bergembira. Tetapi, bagaimana kalau karantina paksa tersebut menimpa karyawan?
"Kami sadar karena seorang sopir harus selalu kontak dengan penumpang, risiko tertular SARS sangat tinggi. Maka kalau ada sopir terpaksa dikarantina karena diduga terjangkit SARS, perusahaan memberi kompensasi 300 dollar Singapura (sekitar Rp 1,5 juta)," kata Jacqueline Tham dari Comfort Group, operator taksi terbesar di Singapura yang kini mengelola 11.300 taksi dengan 22.000 sopir.
Kebijakan memberi kompensasi memang sedang diperluas sampai mencakup pedagang kecil. Tidak semua bantuan diwujudkan dalam bentuk uang karena bisa berupa penundaan pembayaran sewa toko, sewa rumah, berikut beragam kemudahan lainnya. Pokoknya, pemerintah, perusahaan besar, dan seluruh warga Singapura sangat antusias untuk menghimpun dana serta bahu-membahu dalam upaya bersama menangkal penyebaran SARS.
Pertanyaannya, apakah wabah ini bisa dikalahkan?
Memang masyarakat Singapura agak kecewa karena persis satu hari menjelang date-line pernyataan bebas SARS ditemukan satu kasus baru. Negara ini masih harus menunggu lagi sampai 31 Mei. Jika sampai tanggal tersebut tak ditemukan lagi kasus SARS baru, WHO akan mengumumkan Singapura bebas SARS.
Banyak pihak masih khawatir akan kemungkinan meluasnya ancaman SARS. Para pesimis perlu diyakinkan, tahun 1975 perlu waktu selama tujuh tahun untuk menemukan virus penyebab wabah Lyme. Kemudian wabah AIDS di tahun 1981, membutuhkan waktu tiga tahun untuk bisa mengenali virusnya.
Dalam kasus SARS, berkat dukungan kemajuan teknologi dan kerja sama internasional, hanya dalam waktu sekitar tujuh minggu sesudah WHO mengetahui ledakannya, virus penyebabnya, Corona, sudah bisa terlacak. Jika jejak serta pola serangan SARS sudah diketahui, pembasmian diharapkan tidak banyak memenuhi kesulitan. Dalam kata-kata Tan- Hoong Chu Eng, "Kami tidak gagal, tetapi memang harus waspada dan berjuang terus.…" (jup)
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/23/sorotan/324861.htm">http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/23/sorotan/324861.htm    
Rumitnya Perjalanan di Tengah SARS
"PAK, maaf, formulir ini wajib diisi lengkap," kata petugas Singapore Airlines di Bandara Soekarno-Hatta Jakarta menyodorkan selembar kertas warna kuning. Survei penumpang, daftar harga, tawaran hotel, rute baru. Oleh karena sudah sering bepergian dengan beragam maskapai penerbangan di berbagai negara, justru saya mulai bertanya di dalam hati, apa pula ini?
TERNYATA ada tambahan upacara di zaman merebaknya SARS, sindrom pernapasan akut parah. Kewajiban yang harus dipenuhi setiap penumpang kalau melintas kawasan terjangkit, yakni menjawab pertanyaan sekaligus membikin pernyataan tertulis. Penambah panjang daftar tugas sebelum naik pesawat terbang; membayar airport tax, mengisi kartu imigrasi, melunasi bea fiskal dan tambah lagi ini, mengisi formulir SARS.
Wabah tersebut ternyata tidak saja membikin kacau perjalanan tetapi juga memukul perekonomian. Sampaio saat ini korban tewas sudah lebih dari 650 orang, seiring naiknya prediksi kematian dari WHO pada angka 15 persen penderita.
Dampak terburuk dari wabah SARS memukul industri penerbangan. "Krisis dengan gaung dahsyat sekali," kata Andrew Drysdale, wakil ketua IATA (International Airlines Transport Association).
Jumlah penumpang pesawat terbang tinggal 30 persen, turun dari angka rata-rata tahun lalu 70 sampai 80 persen ketika mereka mengangkut 1,2 triliun penumpang. Kemerosotan tersebut merugikan industri penerbangan lebih dari 10 triliun dolar AS dengan akibat seperti diumumkan oleh organisasi kesehatan dunia, di empat negara terjangkit SARS; Cina, Hongkong, Singapura, dan Vietnam, tahun ini akan muncul 2,9 juta penganggur baru. Asia bakal kehilangan potensi ekonomi tidak kurang dari 28 triliun dolar AS. Berikut terseretnya masyarakat kembali ke abad lalu ketika mereka tak mau melawat ke negara tetangga sebab takut terjangkit penyakit.
Tepat sekali langkah pemimpin ASEAN dan Cina ketika mereka langsung bertemu di Bangkok, Thailand, untuk merumuskan langkah penanggulangan SARS. Sayangnya, begitu mereka pulang ke negara masing-masing, SARS malah merembet ke Taiwan, negara tetangga bukan anggota ASEAN dan juga bukan anggota WHO. Dengan 38 korban tewas, Taiwan langsung menempati urutan ketiga, di bawah Cina dan Hongkong, sekaligus menggeser Singapura ke nomor empat.
Rentetan pikiran ini bermunculan ketika penerbangan SQ 155 sedang mendekati Singapura. Saya melirik ke kanan-kiri banyak penumpang mulai memakai masker. Peralatan sederhana dalam kedokteran, tetapi sekarang merupakan upaya paling murah untuk menangkal penyebaran SARS.
Tanpa ragu saya segera ikut memakai masker kemudian berbondong-bondong keluar dari perut pesawat, melewati belalai pintu masuk bandara. Dalam suasana aneh, oleh karena besar kecil, tua muda, lelaki perempuan, hampir semuanya memakai masker dengan raut muka ketakutan. Akibat sulit bernapas dari balik masker dan juga karena tidak bisa membayangkan apa dan bagaimana bentuk ancaman SARS.
Merah, hijau, dan isolasi
Tiba-tiba, di ujung pintu belalai bandara, petugas berseragam putih membidik setiap penumpang dengan peralatan mirip kamera. Sementara di belakangnya, sekelompok orang mengawasi sebuah panel dengan teliti, dijaga tentara bersenjata lengkap mengamati gerak-gerik penumpang. Sepanjang masa Orde Baru, Indonesia sudah mengalami pemerintahan semi militer. Tetapi belum pernah ada tentara bersenjata lengkap, berpakaian tempur, lalu lalang di bandara. Memang tidak bisa lain, kesiagaan militer semacam ini merupakan aksesori baru dalam upaya menangkal serangan teroris. Wabah selain SARS yang juga sedang ikut melanda dunia.
Peralatan pembidik tersebut bernama thermal imaging scanner, yakni pelacak panas tubuh manusia. Dengan peralatan seharga 150.000 dolar ini, mereka yang suhu tubuhnya melebihi 37,5 derajat Celcius, di layar sensor akan memunculkan bayangan warna merah. Bagi mereka yang bersuhu di bawahnya, warna hijau. Batas tersebut ditentukan mengingat tanda awal serangan SARS adalah panas badan tinggi. Apakah kelompok merah akan langsung diringkus pasukan SAF (Singapore Armed Forces)?
"Of course tidak-lah," jawab Nooradzilah, gadis Melayu petugas Bandara Changi sambil tertawa lepas. Semua orang, penumpang atau awak pesawat, begitu memunculkan bayangan hijau diizinkan belok ke kanan untuk meneruskan langkah. Sebaliknya kalau terbayang warna merah, mereka harus jalan ke kiri, diminta istirahat, dan sepuluh menit kemudian suhu tubuhnya kembali diukur. Tidak lagi dengan thermal imaging scanner, tetapi memakai termometer biasa yang langsung dijejalkan ke telinga. Kalau suhunya turun, eks kelompok merah yang sudah jadi hijau boleh meneruskan perjalanan masuk ke Singapura atau transit ke negara lain. Kalau tetap di atas 37,5 derajat.
"Sorry, …terpaksa kami bawa ke rumah sakit, diisolasi sepuluh hari," kata Nooradzilah, kali ini tanpa senyuman. Hingga pertengahan Mei, Changi telah memeriksa suhu badan lebih dari 45.000 penumpang. Dari jumlah sekian terjaring 28 orang "merah", namun sekarang ini tinggal empat orang masih terpaksa harus menjalani observasi lanjutan.
"Take it off"
Changi bandara modern terletak di ujung timur Pulau Singapura. Sejak dibuka tahun 1981 sudah melayani sekitar 50 maskapai penerbangan dan menghubungkan 130 kota di 50 negara. Terdiri dari dua terminal dan satu lagi sedang dibangun, proyeksi serta pertumbuhan Changi sangat mengesankan, "…tetapi sejak meledaknya SARS, bulan Maret 2003, telah terjadi penurunan kedatangan penumpang sebesar 11,2 persen, dan bulan April lalu merosot lagi sampai 38,3 persen," kata Albert Tjoeng petugas humas CAAS, otorita penerbangan sipil Singapura.
Menghadapi merosotnya pengguna jasa Changi, baik lalu lintas penumpang dan juga pesawat terbang, CAAS memberlakukan langkah darurat sejak 1 Mei 2003. Semua pesawat terbang yang mendarat akan diberi diskon 30 persen landing fees. Program diskon sewa tempat juga diperluas ke pemilik toko serta beragam rancangan bantuan lainnya.
Saya beruntung termasuk kelompok warna hijau sehingga bisa langsung menuju loket imigrasi. Berjalan melewati pertokoan penuh barang mewah dengan pelayan duduk termenung menunggu calon pembeli yang tidak kunjung datang. Ketika sedang melamun merenungkan kenyataan ini mendadak terdengar perintah petugas imigrasi, "Sorry Sir, your mask.."
Suaranya terdengar aneh tertahan masker yang dia pakai. Tidak ingin kalah gertak saya menukas, "What about it?"
Matanya langsung mendelik, berubah bulat, nampak indah. Tetapi tetap saja dari balik kain penutup mulut dan hidung tersebut datang suara sopan dan tegas, "Take it off… please."
Baru saya sadar untuk mengecek foto dalam paspor dengan diri saya, dia harus melihat wajah saya dengan jelas. Dalam sekejap semua beres, tetapi ternyata masih terus berlanjut, "Sir, tadi di pesawat duduk di kursi nomor berapa? Semua harus ditulis lengkap dalam formulir…"
Saya kembali mencari sobekan boarding pass agar bisa tahu nomor tempat duduk. Sambil mencatat sosok di balik masker tersebut kemudian menambahkan, "Kartu pernyataan ini kami simpan. Kalau nanti anda atau penumpang yang duduk di dekat anda tertular SARS, anda akan kami kejar…"
Alamak, sial benar nasib penumpang pesawat pada zaman ini. Banyak rebyek-nya, beragam tambahan aturan baru hanya untuk melawat ke negara jiran. Apalagi, sebagai masyarakat yang belum lama dilanda eforia serta punya kebebasan dalam semua aspek HAM, hati saya bergejolak mendengar kalimat, anda akan kami kejar.
Hukum tembak
Singapura hanya negara kecil dengan penduduk yang semuanya terdata rapi. Ibaratnya masuk ke lubang semut pun, pemerintah pasti segera tahu. Sebagaimana pengalaman Chua Hock Seng yang diduga terserang SARS. Dia sedang menjalani karantina, tidak boleh meninggalkan flat rumahnya selama sepuluh hari, sesuai masa inkubasi virus SARS. Suatu malam dia keluar rumah dan keesokan harinya, Hock Seng dijatuhi vonis enam bulan penjara, langsung masuk.
"Mungkin dia bosan dan iseng keluar rumah? Bagaimana sih kalian ini menerapkan hak pribadi dan HAM?"
Tanpa menengok, Karmjit, sopir taxi bandara, menjelaskan, "Masih untung Hock Seng hanya masuk jail, kalau di Cina dia pasti di dor."
Sebagai negara pertama terjangkit SARS dan punya jumlah korban tertinggi (akhir Minggu lalu 271 tewas) Cina paling militan menangani kasus ini. Perdana Menteri Wen Jiabao menegaskan, "Kami akan memakai semua jalur hukum dalam perang melawan SARS."
Perintahnya didukung dengan undang-undang baru. Penyebar virus SARS diancam sepuluh tahun penjara sampai hukuman mati. Menolak masuk karantina tujuh tahun, menyebarkan desas-desus tiga tahun dan membikin obat palsu penawar SARS 15 tahun penjara. Menurut Prof Wang Shunan, kriminolog dari China University, "Ancaman SARS melebihi senjata biasa, oleh karena menyebar dengan cepat, mematikan, membikin panik, dan juga keresahan sosial."
Ada lelucon, SARS hanya menjangkiti kelompok masyarakat (keturunan) Cina. Menteri Kesehatan Cina dan Wali Kota Beijing telah dipecat. Tindakan serupa akhir pekan lalu juga menimpa Menteri Kesehatan Taiwan. Mirip sejawatnya (atau lawan politiknya) di RRC, dia juga harus pulang kampung akibat gagal menangani wabah SARS.
Inilah dilema dalam perang melawan SARS. Sikap militan Cina menuai kritik dari Jubir WHO Mangai Balasegaran, "Kalau ancaman hukumannya terlampau berat, para penderita cenderung bersembunyi dan mereka akan bisa menyebarkan virus tanpa kendali." Tetapi sebaliknya, tanpa ada ancaman hukuman, masyarakat hanya akan memandang enteng terhadap wabah tersebut. Sesuatu yang jika keliru penanganannya juga tetap bisa menyeret dampak berkepanjangan. (Julius Pour)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar